Memang begitulah cinta, deritanya tiada akhir (I)

Kalimat di atas, dipopulerkan oleh Ti Pat Kay, seorang murid Tom Sam Chong, dalam kisah Journey to the west. Meski fiksi, tetapi kalimat tersebut, sangat mengena (dulu, bukan sekarang. Dicatet ya).
Medio 1995, di sebuah malam minggu, 3 siswa SMA, sebut saja namanya: Cahya, Kecel, dan Oot, siap-siap mendatangi rumah siswi baru, yang baru pindah dari Serang. Kebetulan, siswi baru ini (sebut saja Wati), masih saudara dan serumah dengan teman sekelas Kecel.
"Cahya, nanti sesampai di sana, yang masuk kamu saja. Biar kita nunggu di jalan," kata Kecel.
"Lha piye? Ntar aku masuk sendirian gitu?"
"Iyo. Kamu berani kan?" kata Oot.
"Walah, kalau cuma gitu doang sih, kenapa takut," ujar Cahya memberanikan diri.


Tidak berapa lama, sampailah mereka di rumah Wati. Rumah komplek, yang menghadap ke utara, dengan sisi kiri rumah yang difungsikan sebagai toko oleh empunya. Sesaat menghela nafas, Cahya pun menata mental dan mengumpulkan keberanian untuk melangkah masuk ke pekarangan Wati. Ternyata, untuk sekedar bergerak satu langkah, dia harus menahan rasa segan yang menggunung. Untuk sekedar melihat teras depan rumah Wati, dia mesti mematikan rasa takutnya yang luar biasa.
Akhirnya, dengan diiringin tatapan mata memelas dari dua sahabatnya yang menunggu di tepi jalan, sampailah dia di teras, dan disambut oleh pertanyaan ramah oleh ibu setengah baya yang sedang duduk di bangku.
"Adik mau cari siapa?"
"Eh, anu.. Tidak Bu. Ini, mau beli Djarum Super sebungkus."
Setelah menerima rokok dan kembalian, Cahya pun berlalu dan menghampiri kedua rekannya, yang memandang dengan penuh rasa iba.
"Bah, sejak kapan pula aku merokok?" runtuk Cahya dalam hati.